Sejak
kecil aku terbiasa dengan semua ini; debur suara ombak, teriakan anak
berlarian di tepi pantai, muka lusuh sang ayah pulang dari melaut,
senyum sang ibu menyambut ayah walau terkadang pulang hampa...., "hingga
kini masih kutemukan...."
Sederhana atau bahkan prihatin ganbaran hidup kami bagi mereka yang jauh disana, tapi seingatku itulah masa bahagia, "hingga kini masih berlanjut...."
Banyak yang peduli dengan hidup kami, meski kami tidak perlu dikasihani. Tapi mereka datang dengan berjuta janji. Mereka orang "kota" yang menganggap kami tak bisa apa-apa bahkan terkesan kami jadi beban hidup mereka, "masih berlanjut hingga kini..."
Sering; orang kampung dikumpul orang kota, disinilah pertama aku pendengar kata penyuluhan. Orang kampung hanya tau ini adalah perintah dari pemerintah. Orang kota datang kapan saja mengumpul masyarakat, "hingga kini sering terjadi..."
Ada memang perubahan; ayah dan yang lainya makin jauh menangkap ikan, jumlah bahkan ukuran ikan jauh berkurang, pantaiku tak seindah dulu lagi. Konon alasan inilah yang membuat orang kota sering datang dan menganggap kami perusak, "hingga kini masih berlangsung..."
Apa benar kami perusak...? Sepintas memang benar, karena kami yang hidup disana. Tapi...? Apakah orang kota juga tahu kalau kami sering melihat; "kapal besar datang berlabuh di laut kami..." Orang kampungku menganggap mereka hebat karena alat tangkap mereka 'luar biasa', bisa menangkap dengan bius bahkan terkadang terdengar ledakan, "apakah kami salah...?"
Kami cukup ramah dengan pendatang; bahkan datang mengambil pasir dipantai kami tetap dibiarkan, batu karang diambil kami cuma jadi penonton, "hingga kini masih terjadi"
Aku masih di kampung ini; sang ayah tak melaut hari ini konon ada penyuluhan agar kami tak merusak laut. Aku masih di bibir pantai mendengar deru ombak sambil menatap kapal besar yang sedang berlabuh dan menangkap, tak terlewatkan tatapanku perahu-perahu kecil mengangkut pasir dari pulauku. Ayahku masih bersama orang kota yg hebat.
"Suara nelayan kecil bercerita apa adanya"
Kapota, 2009.
Sederhana atau bahkan prihatin ganbaran hidup kami bagi mereka yang jauh disana, tapi seingatku itulah masa bahagia, "hingga kini masih berlanjut...."
Banyak yang peduli dengan hidup kami, meski kami tidak perlu dikasihani. Tapi mereka datang dengan berjuta janji. Mereka orang "kota" yang menganggap kami tak bisa apa-apa bahkan terkesan kami jadi beban hidup mereka, "masih berlanjut hingga kini..."
Sering; orang kampung dikumpul orang kota, disinilah pertama aku pendengar kata penyuluhan. Orang kampung hanya tau ini adalah perintah dari pemerintah. Orang kota datang kapan saja mengumpul masyarakat, "hingga kini sering terjadi..."
Ada memang perubahan; ayah dan yang lainya makin jauh menangkap ikan, jumlah bahkan ukuran ikan jauh berkurang, pantaiku tak seindah dulu lagi. Konon alasan inilah yang membuat orang kota sering datang dan menganggap kami perusak, "hingga kini masih berlangsung..."
Apa benar kami perusak...? Sepintas memang benar, karena kami yang hidup disana. Tapi...? Apakah orang kota juga tahu kalau kami sering melihat; "kapal besar datang berlabuh di laut kami..." Orang kampungku menganggap mereka hebat karena alat tangkap mereka 'luar biasa', bisa menangkap dengan bius bahkan terkadang terdengar ledakan, "apakah kami salah...?"
Kami cukup ramah dengan pendatang; bahkan datang mengambil pasir dipantai kami tetap dibiarkan, batu karang diambil kami cuma jadi penonton, "hingga kini masih terjadi"
Aku masih di kampung ini; sang ayah tak melaut hari ini konon ada penyuluhan agar kami tak merusak laut. Aku masih di bibir pantai mendengar deru ombak sambil menatap kapal besar yang sedang berlabuh dan menangkap, tak terlewatkan tatapanku perahu-perahu kecil mengangkut pasir dari pulauku. Ayahku masih bersama orang kota yg hebat.
"Suara nelayan kecil bercerita apa adanya"
Kapota, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar